Jumat, 20 Juni 2008

Keseimbangan Pikiran


By NiekZ

Di suatu sore, saya menerima sms dari seorang teman dengan isi bahwa dia akan segera hengkang dari tempat pelayanannya. Dia bercerita bahwa seorang teman yang bekerja sama dengannya sebagai rekan sepelayanan memiliki visi yang berbeda dengannya. Jadi, karena sudah tidak sevisi lagi, jalan keluar terbaik adalah salah satu harus mengalah. Dan teman saya ini, memilih untuk megalah dan mencari jalan sendiri.

Saya menanggapi itu sebagai masalah yang cukup serius, karena saya tahu persis bahwa mereka berdua, adalah rekan kerja yang bersama merintis tempat pelayanan itu sampai menjadi besar sekarang ini. Saya tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam, penyebab perbedaan itu terjadi. Ternyata, menurut teman saya, dulunya mereka memang sevisi, hanya saja lambat laun sering terjadi konflik hanya karena perbedaan pendapat.

Miris memang, sesuatu yang telah dibangun bersama akhirnya runtuh karena perbedaan pendapat. Saya jadi teringat pada permasalahan yang pernah saya alami dulu. Saya pernah memiliki teman baik. Seorang teman yang selalu ada ketika suka maupun duka. Suatu saat, perbedaan itu baru terasa ketika saya dengan niat tulus menyarankan dirinya yang sering sakit-sakitan untuk mengurangi lembur kerja sampai tengah malam. Pendapat saya dianggap mengendalikan kebebasannya. Saya hanya geleng-geleng kepala, sesuatu yang saya anggap bermanfaat terhadap dirinya dianggap merugikan kehidupannya.



Saya menjadi berpikir mengapa konflik dapat menjadi besar, padahal kedua orang yang memiliki relasi sebagai teman atau sahabat tersebut sudah mengenal watak masing-masing. Tenyata suatu konflik dapat menjadi besar apabila kita mulai dengan paradigma negatif. Begitu kita mulai dengan paradigma yang negative, maka suatu gejolak ataupun dinamika yang berbeda, kita akan rasakan dalam kerangka berpikir yang negative juga. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang biasanya seperti demikian.

Jika paradigma yang negative yang tersibak pertama kali, maka segala yang keluar dari pikiran adalah rancangan-rancangan yang mengarah pada paradigma negative tadi. Jadi, dapat ditebak, Jika dua orang yang bersahabat yang sebenarnya sudah mengenal watak masing-masing mulai berbeda pendapat, jika yang pertama kali muncul dipikiran paradigma negative maka yakinlah yang timbul adalah kecurigaan, tuduhan-tuduhan, yang terkadang tidak masuk diakal. Selajutnya, mulailah pikiran negative mengikuti, ia akan memikirkan jangan-jangan teman sedang merencanakan niat buruk, jangan-jangan teman sedang menceritakan rahasia kehidupan saya selama ini.

Aura paradigma negative itu terlihat dari bahasa tubuh yang mulai berbeda, cara bicara yang sudah mulai pelit, mimik wajah yang sudah tidak ramah, dan yang paling penting adalah suasana hati yang selalu mengira-ngira. Akibatnya, relasi dengan sesama rusak.

Sebaliknya, jika kita melulu mulai dengan pikiran yang positif, saya menyarankan untuk tidak terlalu nyaman. Sebagai contoh, seorang teman saya yang selalu memulai dengan pikiran positif, mulai percaya sepenuhnya terhadap sahabatnya dengan meminjamkan uang dalam jumlah yang besar. Akibatnya, ketika orang yang dipinjaminya menghilang karena tidak sanggup membayar pinjaman tersebut, ia menjadi stess dan mengutuki kebodohannya mempercayai temannya.

Kita tidak bisa menyalahkan pikirannya yang positif tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bisa berakibat fatal? Penyebabnya adalah cara menikmati zona kenyamann pikiran positif yang berlebihan sampai melupakan satu kata yang penting, tetap waspada. Zona kenyamanan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang tidak peka terhadap perubahan atau perbedaan yang berdampak negative di sekitarnya.

Coba liat sebentar pada lambang lembaga peradilan. Ada timbangan yang dipegang oleh seorang dewi dengan pedang dan mata tertutup. Jika timbangan tersebut berat sebelah maka sang dewi akan menghujaminya dengan pedang sebagai suatu pertanda adanya ketikaadilan. Kita membutuhkan suatu keseimbangan, tidak berat sebelah pertanda kita memiliki hidup yang berimbang. Jika kita hanya melulu negative, maka yang keluar adalah pikiran dan dan tindakan yang negative. Jika melulu positif maka yang keluar pikiran dan tindakan yang positif. Kenyamanan keduanya harus dikurangi, karena itu diperlukan batang timbangan yaitu kewaspdaan yang akan selalu mengingatkan apabila zona kenyamanan sudah mulai statis.


Klik disini untuk baca selengkapnya..

Rabu, 18 Juni 2008

Mengeluh

by. Desmond

Sebuah kata sederhana yang mungkin jarang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seringkali kita praktekkan langsung baik secara sadar maupun tidak sadar. Beberapa waktu lalu saya berkumpul dengan teman-teman lama saya. Seperti biasanya kami membicarakan mengenai pekerjaan, pasangan hidup, masa lalu, dan berbagai macam hal lainnya.

Setelah pulang saya baru tersadar, bahwa kami satu sama lain saling berlomba untuk memamerkan keluhan kami masing-masing seolah-olah siapa yang paling banyak mengeluh dialah yang paling hebat.
"Bos gue kelewatan masa udah jam 6 gue masih disuruh lembur, sekalian aja suruh gue nginep di kantor!"
"Kerjaan gue ditambahin melulu tiap hari, padahal itu kan bukan "job-des" gue"
"Anak buah gue memang bego, disuruh apa-apa salah melulu".
Kita semua melakukan hal tersebut setiap saat tanpa menyadarinya.

Tahukah Anda semakin sering kita mengeluh, maka semakin sering pula kita mengalami hal tersebut. Sebagai contohnya, salah satu teman baik saya selalu mengeluh mengenai pekerjaan dia. Sudah beberapa kali dia pindah kerja dan setiap kali dia bekerja di tempat yang baru, dia selalu mengeluhkan mengenai atasan atau rekan-rekan sekerjanya.

Sebelum dia pindah ke pekerjaan berikutnya dia selalu ribut dengan atasan atau rekan sekerjanya. Seperti yang bisa kita lihat bahwa terbentuk suatu pola tertentu yang sudah dapat diprediksi, dia akan selalu pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya sampai dia belajar untuk tidak mengeluh.

Mengeluh adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan bagi beberapa orang hal ini menjadi suatu kebiasaan dan parahnya lagi mengeluh menjadi suatu kebanggaan. Bila Anda memiliki dua orang teman, yang pertama selalu berpikiran positif dan yang kedua selalu mengeluh, Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang mana? Menjadi seorang yang pengeluh mungkin bisa mendapatkan simpati dari teman kita, tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman dan tidak akan menyelesaikan masalah kita, bahkan bisa membuat kita kehilangan teman-teman kita.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita mengeluh? Kita mengeluh karena kita kecewa bahwa realitas yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Bagaimana kita mengatasi hal ini. Caranya sebenarnya gampang-gampang susah, kita hanya perlu bersyukur.

Saya percaya bahwa di balik semua hal yang kita keluhkan PASTI ADA hal yang dapat kita syukuri.

Sebagai ilustrasi, Anda mengeluh dengan pekerjaan Anda. Tahukah Anda berapa banyak jumlah pengangguran yang ada di Indonesia ?

Sekarang ini hampir 60% orang pada usia kerja produktif tidak bekerja, jadi bersyukurlah Anda masih memiliki pekerjaan dan penghasilan. Atau Anda mengeluh karena disuruh lembur atau disuruh melakukan kerja ekstra. Tahukah Anda bahwa sebenarnya atasan Anda percaya kepada kemampuan Anda? Kalau Anda tidak mampu tidak mungkin atasan Anda menyuruh Anda lembur atau memberikan pekerjaan tambahan.

Bersyukurlah karena Anda telah diberikan kepercayaan oleh atasan Anda, mungkin dengan Anda lebih rajin siapa tahu Anda bisa mendapatkan promosi lebih cepat dari yang Anda harapkan.

Bersyukurlah lebih banyak dan percayalah hidup Anda akan lebih mudah dan keberuntungan senantiasa selalu bersama Anda, karena Anda dapat melihat hal-hal yang selama ini mungkin luput dari pandangan Anda karena Anda terlalu sibuk mengeluh.

1. Bersyukurlah setiap hari setidaknya satu kali sehari.
2. Bersyukurlah atas pekerjaan Anda, kesehatan Anda, keluarga Anda atau apapun yang dapat Anda syukuri. Ambilah waktu selama 10-30 detik saja untuk bersyukur kemudian lanjutkan kembali kegiatan Anda.
3. Jangan mengeluh bila Anda menghadapi kesulitan tetapi lakukanlah hal berikut ini. Tutuplah mata Anda, tarik nafas panjang, tahan sebentar dan kemudian hembuskan pelan-pelan dari mulut Anda, buka mata Anda, tersenyumlah dan pikirkanlah bahwa suatu saat nanti Anda akan bersyukur atas semua yang terjadi pada saat ini.
4. Biasakan diri untuk tidak ikut-ikutan mengeluh bila Anda sedang bersama teman-teman yang sedang mengeluh dan beri tanggapan yang positif atau tidak sama sekali. Selalu berpikir positif dan lihatlah perubahan dalam hidup Anda.
5. Semakin banyak Anda bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Anda miliki, maka semakin banyak hal yang akan Anda miliki untuk disyukuri."
Klik disini untuk baca selengkapnya..

Mencari sasaran Tembak

by.NiekZ
Saya sangat terkesan melihat Robinhood. Ia terkenal dengan ketepatannya mempergunakan busurnya untuk membidik sasarannya. Ia menjadi pahlawan ketika menghadapi musuhnya. Jarang sekali ia gagal dalam membidik, seolah sudah diciptaka sebagai satu-satunya contoh yang akurat di dalam sisi perhitungan di setiap film yang dibintanginya. Kekaguman saya semakin bertambah, ketika ia pada akhirnya mempergunakan seluruh kemampuan ketelitiannya untuk mengalahkan lawannya. Dan akhirnya, di setiap ujung ceritanya, ia menjadi pahlawan kebenaran. Tidak jauh berbeda dengan cerita Robinhood, penembak jitu di korps militer dilatih khusus untuk dapat menembak dengan tepat. Biasanya dimulai dengan ketepatan membidik lingkaran angka-angka di papan tembakan, sampai kepada membidik boneka yang diletakkan dari dekat sampai jauh. Setiap satu peluru yang ditembakkan tidak boleh sia-sia, diwajibkan tepat dan pas pada sasarannya. Hanya saja, penembak jitu selain bertujuan untuk menegakkan kebenaran ‘seperti cerita Robinhood’, iapun ditugaskan secara khusus untuk menembaki tokoh criminal atau orang-orang yang mengancam kehidupan orang lain, bahkan menembak tahanan yang telah dijatuhi hukuman mati.

Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang berada di garis depan korps militer. Ia pernah ditugaskan di Libanon, dan berada persis di daerah rawan militer. Saya menanyakan apakah ia pernah menembak orang sampai tewas. Ia menjawab dengan nada ringan bahwa itu sudah menjadi bagian tugasnya sebagai penjaga garis depan. Saya mendesak untuk menanyakan dimana hati nuraninya dikala ia melaksanakan tugasnya. Dengan santai juga ia menjawab bahwa, hati nurani hanya bergejolak saat pertama kali dan kedua kali melakukannya, setelah itu menjadi kebal. Saya kembali mendesak apakah ia tidak takut pada penghukuman Tuhan? Ia hanya menggeleng dan memberi pendapat bahwa ia memilih untuk menjadi alat Negara. Oleh sebab itu, segala hal yang berhubungan dengn kewajiban terhadap pekerjaan harus dilaksanakan. Jika itu mengakibatkan Tuhan menghukum dirinya, itu adalah konsekuensi nantinya. Dan iapun ingat bahwa pembalasan adalah hak Tuhan.

Saya juga sering mendengar bahwa dua orang yang saling mencintai pada akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri. Artis, tetangga, saudara, kerabat, teman kerja kita, saat memilih untuk menjauh dari aura kita, sering kali diakhiri dengan saling tuding menuding. Entah itu siapa yang benar dan salah, buntutnya adalah saling menyalahkan. Barulah perpisahan itu terjadi. Suasana yang panas dan saling mencari kelemahan lawannya, seringkali menjadi proses yang harus dilalui. Setelah mencapai klimaksnya, kemudian barulah terjadi perpisahan sebagai anti klimaks. Andai itu pernah menyimpan memori yang baik, mengapa harus bertikai dulu sebelum mengakhirinya?

Fakta seperti ini seolah menjadi penanda bahwa seringkali, kita berusaha untuk mencari tahu kelemahan dan kesalahan orang lain barulah kemudian menembaknya dengan jitu. Jika sudah memiliki kartu AS lawan, maka yang terjadi kemudian adalah kita seperti memburu harta karun. Segala yang buruk menjadi lebih kelihatan dari pada yang baik. Segala yang indah dulunya menjadi tidak berarti seolah sumir dan tawar. Jadi, niatan Robinhood dan penembak jitu untuk menegakkan kebenaran berbeda arah dengan saat kita mempergunakan kesalahan dan kelemahan teman, sahabat, orang yang kita cintai, rekan kerja, untuk kemudian menghantamnya kembali. Semula yang indah dengan penuh romantika menjadi kehilangan makna dengan banyaknya kekecewaan yang kita pendam. Semakin kita memaafkan teman yang terdekat sekalipun tanpa mengkomunikasikan kesalahan yang sebenarnya, maka itu akan menjadi seperti gunung es yang suatu saat akan mengalami letusan. Memendam masalah itu bukan solusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Tidak kalah penting juga, ketika kita berada di pihak yang sedang dievalusi, benar tidaknya tindakan kita, nyaman tidaknya perasaan orang yang sedang berada disekitar kita, kitapun sewajarnya terbuka dengan setiap perubahan, baik perubahan suasana hati orang lain, pikiran orang lain bahkan kritikan orang lain. Memang tidak segampang seperti kata “gitu aja kok repot”, tetapi apabila kita memaknai istilah tersebut, maka kita akan melihat perbedaan dan perubahan itu sebagai suatu dinamika. Simpelnya, cobalah untuk mengkomunikasikan dengan tepat dan dengan orang yang tepat apa-apa yang tidak mengena di hati. Terimalah setiap masukan dan krikitikan dengan baik, seperti istilah positive thinking. Lalu lalukanlah perubahan itu jika itu demi tujuan yang baik, jika tidak maka komunikasikan kembali agar tidak terjadi kesalahan yang berlarut-larut. Cobalah, mungkin bermanfaat
Klik disini untuk baca selengkapnya..

Inspirasi darimu

Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk meyakini Dia yang sedang menjadi buah bibir itu pun menjadi sumber inspirasi dalam hidupku. Terlebih lagi menjadi sumber kehidupan yang menyemangati aku. Bahkan menjadi keyakinanku dalam menjalani pekerjaanku. Seperti istilah di zaman ini yang sedang ngetren “kunci keberhasilan” atau seabrek istilah keren lainnya. Yang kusadari sepenuhnya aku tidak pernah bermimpi mengenal Dia seperti ini, seorang pengusaha yang sukses. Dengan kekayaan materi yang banyak dan pengikut yang setia menuruti perintahku. Kalau orang berbicara tentang aku, mereka selalu beranggapan bahwa aku matre, tukang ngompas uang, tukang pukul, tukang paksa, atau apalah itu. Ah…aku masa bodoh dengan apapun yang mereka katakan. Yang penting aku adalah pemungut cukai yang sangat disegani di seluruh Yerikho tempat aku berada dan menjadi wilayah kekuasaanku sekarang. Aku bangga menjadi diriku sendiri.

Sebenarnya, di dalam hati kecilku aku sangat merindukan ketenangan. Ketenangan dalam menjalani aktivitasku. Aku sangat ingin merasa nyaman. Baiklah, aku jujur dalam perasaanku. Andai saja aku bisa memilih, aku sangat ingin menjadi orang yang dikasihi. Terasa aneh ya dengan apa yang kurasakan saat ini. Kalau mungkin seorang psikolog menemuiku, mungkin saja dia akan berkata “kamu kesepian”. Yaaaahhh memang benar. Sebenarnya, aku sangat kesepian. Tidak ada orang yang menyayangi aku, memperhatikan aku. Yang ada adalah mereka ketakutan kepadaku. Mereka seakan melihatku seperti virus atau bahkan kanker yang semestinya dihindari. Ahhh…masgulnya

Selain itu, hal yang sangat terasa berat lagi adalah di kala aku hendak tidur. Aku sering kali menganggap tidur adalah waktu terakhir dalam hidupku. Artinya, tidur semestinya dijauhkan dalam hidupku, sebab aku sangat takut terhadap kematian. Andai saja tidur itu adalah waktu terakhir di dalam hidupku, kemana aku akan pergi. Kalau dalam keyakinanku, aku akan berada dalam dimensi kehidupan lain yang menyeramkan, Dimana akan ada api kekal yang menyambar tubuhku, menghanguskan dagingku, dan membuatku menjerit ketakutan sepanjang abad.

Melewati hari-hariku yang sunyi, aku mulai mencari kesejukan itu. Tidak perduli tentang buruknya anggapan mereka, seberapa besar harta yang telah aku kumpulkan itu akan hilang, atau bahkan meninggalkan kesuksesan pekerjaan yang sedang kukerjakan saat ini. Yang penting, aku harus mencari kesejukan itu. Harus....

Di pagi hari yang indah itu, aku mendengar selentingan kabar bahwa Dia akan datang melewati kotaku. Dia yang selama ini diam-diam menumbuhkan rasa penasaran dalam hatiku. Kudengar kalau dia selalu membuat orang lain terpesona dengan kata-kata bijaknya. Dia yang selalu megang tangan dengan belas kasih. Dia yang membuat banyak mujizat kesembuhan, terakhir menyembuhkan orang buta dekat kotaku. Yang kumengerti Dia adalah tokoh agama yang luar biasa. Meskipun dia ditolak dimana-mana, tapi dampak khotbahnya luar biasa menggegerkan. Dia sangat bersahaja, lemah lembut, sabar, rendah hati tetapi jangan salah, Dia kudengar pernah marah ketika rumah tempat Dia beribadah dijadikan pasar dadakan. Bagiku itu tidak salah, masa rumah tempat ibadah dijadikan pasar dadakan, mall kaleee yang bisa dibuat pasar. Selain itu, Dia mau duduk bersama kaum yang terpinggirkan. Lihat saja, apakah ada pejabat yang mau makan bersama orang-orang miskin, kalau gak karena kampanye. Dia malah tidak ikut ikutan melempari perempuan pendosa dengan batu, dengan santai dia berucap “lempar aja perempuan itu kalau merasa belum pernah berbuat dosa selama hidup di dunia”. Aku tau maksudnya, Dia ingin bersahabat dengan siapapun. Apakah dengan aku juga. Aku bergegas bersiap-siap melihatNya dari dekat. Tetapi aku tidak ingin dilihat siapapun di sini. Aku tau Dia akan melewati jalan ini. Nah…itu pohon yang kucari. Dia tidak akan melihatku bersembunyi di situ, bahkan orang lainpun tidak akan menyangka aku berada di atas, karena aku pendek, dan kecil. Cukup kecil jika dibandingkan rimbunnya dedaunan pohon ara ini. Di dalam hati kecilku, aku ingin sekali mendengar cerita bijak dan penuh harapan, agar aku pun menemukan kesejukan di dalam hidupku. Itu dia..yah itu dia. Aku bisa melihatnya. Ternyata wajahnya penuh ketenangan, padahal banyak orang yang mengikutinya. Senyumnya sangat menentramkan. Aku mulai merasa berdebar-debar, Dia mendekat, mendekat kearah pohon ara ini. Semoga tidak seorangpun mendongakkan kepalanya, aku malu jika ketahuan.

Bagai disambar geledek aku terhenyak, benarkah dia memanggilku. Sekali lagi “Turunlah, aku mau menumpang di rumahmu? Benar kah? Ini bukan mimpi. Aku mencubit kulit tanganku..aduh, sakit! Berarti nyata adanya. Dia melihatku, Dia memanggilku turun, Dia mau bermalam di rumahku. Aku turun dan sama sekali tidak perduli dengan tatapan sinis mereka. Aku tau, aku mendapatkan apa yang kucari. Aku menemukan kesejukan itu. Aku menemukannya dalam diriNya. Dia mencariku, Dia menerimaku apa adanya. Tidak seperti mereka yang selalu mengganggapku pendosa. Aku berdiri di hadapNya. Entah kekuatan dari mana, aku meloncat dengan sukacita, aku berseru “ Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” masa bodoh dengan kenikmatan dunia yang kujalani ini.Bagai diberi durian runtuh, aku mendengar Dia menjawabku “Hari ini telah terjadi keselamatan di rumah ini, karena orang inipun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. Dengerin, jika Dia bisa datang kepadaku yang penuh dengan dosa dan kemunafikan ini, masakan Dia tidak mau datang kepadamu kalau engkau mau membuka pintu hatimu buat dia hari ini. Tidak ada kata terlambat, bukalah hatimu buat Dia.
Klik disini untuk baca selengkapnya..

Bahagia

Menarik untuk direnungkan, tentang makna kebahagian bagi diri sendiri. Banyak orang mengatakan bahwa ukuran kebahagiaan adalah ketika ia mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Ada juga yang menyatakan bahwa ukuran kebahagiaannya ketika ia mendapati dirinya telah mendapatkan pekerjaan. Lain lagi bagi sebagian orang yang menyatakan bahwa ia bahagia karena telah menemukan tambatan hati dan segera menikah. Upsss… semua jawaban di atas tidak ada yang salah. Semua berasal dari isi kepala dan isi hati yang berbeda.

Lalu bagaimana sebenarnya ukuran kebahagiaan itu? Apakah ia pantas diukur sesuai dengan tingkat materi uang yang kita punya? Apakah ia pantas diukur sesuai dengan jumlah orang yang memenuhi undangan kita?? Atau saat ketika semua isi sms di HP hanyalah ucapan selamat atas keberhasilan kita meraih jabatan, ato gelar, ato kerja, atau kenaikan gaji (Hmm)??? Ini hanya sekedar contoh soal, masih banyak contoh lain di sekitar kita. Jika semua hal tersebut adalah alasan untuk disebut bahagia, maka tidaklah tidak mungkin kebahagiaan akan berakhir seiring dengan masa pencapaian itu berakhir. Kalau begitu, bagaimana dengan kata bahagia itu sendiri? Menjadi sesaatkah seiring dengan masa waktu pencapaian berakhir. Hmmm…jika demikian untuk apa bahagia kalau tidak bisa dinikmati sepanjang hidup? Untuk apa bahagia kalau hanya menjadi bagian hitungan hari, bulan dan tahun?

Sedikit berteori, bagi Maslow manusia memiliki jenjang kebutuhan. Masing-masing orang memiliki kebutuhan yang dapat saja sama bahkan berbeda dari orang lain, sekalipun mereka memiliki hubungan pertalian sedarah. Kebutuhan yang terpenuhi itulah yang akan membuat seseorang puas, atau dengan kata lain bahagia karena keinginan atau kebutuhannya terpuaskan. Jika tidak terpenuhi atau gagal tercapai, seseorang akan merasa kecewa, sedih bahkan depresi. Selanjutnya kita lihat apabila kebutuhan itu telah tercapai, maka kebutuhan itu pula akan membawa seseorang untuk melangkah demi memenuhi kebutuhan lain, demikian terus menerus sepanjang waktu yang dilalui oleh manusia. Sebagai contoh jika seseorang telah meraih gelar sarjana, maka ia kemudian memikirkan bagaimana agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pencapaian prestasinya. Setelah itu, terang saja, ia kemudian menggagas rencana untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan keuangan yang bagus. Nah setelah keinginannya tercapai, ia kemudian melangkah untuk mendapatkan tambatan hati yang akan menemani dirinya sepanjang hidup. Demikian seterusnya,dan seterusnya, pada dasarnya keinginan manusia bergerak maju.

Bagi maslow kebutuhan manusia
Pertama, menyangkut berbagai hal yang fisik, seperti makan, pakaian, seks, bersentuhan dengan pasangan, rumah, mobil, perhiasan dan lain sebagainya. Yang penting segala sesuatu yang berhubungan dengan kepuasan fisik.
Kedua, segala hal yang berhubungan dengan rasa aman. Disini sangat berbeda dengan kebutuhan fisik. Terlindung dari kejahatan, ketenangan bathin untuk menikmati pekerjaan, terhindar dari segala bentuk tekanan, baik dari atasan, rekan kerja, tetangga, ataupun suami/istri. Kebutuhan ini menyangkut sisi psikologi dari seseorang untuk menikmati sesuatu yang sedang dilakukannya ataupun memiliki sesuatu. Ketiga, kebutuhan untuk diterima dalam suatu lingkungan sosial. Kebutuhan yang seperti ini akan mempengaruhi seseorang untuk dapat diterima ataupun bergabung dengan lingkungan dimana dia akan bekerja, atau berinteraksi. Oleh sebab itu, seindividualnya seseorang, iapun memiliki kebutuhan untuk dapat diterima di suatu lingkungan tertentu.
Keempat, kebutuhan terhadap pengakuan. Seseorang yang sudah mendapatkan sesuatu ataupun melakukan sesuatu, ia memiliki kebutuhan untuk diakui bahkan jauh dilubuk hati ada keinginan untuk memperoleh sebuah pujian. Bukankah pujian akan melahirkan hal positif bagi pengembangan diri seseorang?
Kelima, yang terakhir adalah kebutuhan terhadap aktualisasi diri. Seseorang yang sudah dewasa akan memikirkan bagaimana caranya agar ia dapat mengembangkan sisi lain dalam dirinya. Dulu sewaktu kita masih kecil, seringkali kita berpikir kelak akan menjadi seperti apa. Nah, kebutuhan inilah yang pada akhirnya setelah dewasa akan diwujudkan sebagai suatu ambisi dalam kehidupan.

Tidak lari dari teori di atas, mari kita mulai untuk melihat dari diri sendiri. Apakah orientasi kebutuhan kita sekarang masih diletakkan pada kebutuhan fisik? Misalnya, belum mendapatkan uang yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari, gajinya belum mengalami kenaikan, seks belum terpuaskan dengan benar karena segala hal yang berhubungan dengan legalitas hukum dan agama belum terpenuhi, tunggakan masih banyak, dan masih banyak lagi. Ataukah jika itu semua telah terpenuhi ataupun mulai memuaskan pelan-pelan, kebutuhan kita mulai merambah pada kenyaman dalam bekerja, ataupun dalam membina hubungan dengan kekasih atau rekan kerja. Ataukah malah kita sudah tidak berkutat lagi dalam hal tersebut melainkan sudah mulai mempersiapkan diri untuk mulai memperbaiki kualitas pribadi sehingga apa yang diangankan ataupun dicita-citakan selama ini dapat tercapai?

Nah, mari kita sejenak berdiam diri untuk melihat dengan benar dimanakah kita meletakkan tolak ukur kebahagiaan diri kita? Masihkah kita selalu mengutak-atik yang itu itu saja tanpa mengalami perkembangan? Adakah kita hanya duduk diam menangisi persoalan hidup (yang pada dasarnya selalu ada sepanjang hidup)? Saya sepakat dengan Maslow dalam mengatakan bahwa kebagiaan itu akan terus bergerak maju, sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia. Hanya saja saya lebih memilih untuk tidak hanya membagi kebutuhan dalam berbagai tingkatan dan mengambil tolak ukur terhadap pencapaian itu. Bagi saya kita akan terperangkap dalam menilai sesuatu itu bahagia atau tidak dari sisi pencapaiannya. Akan lebih berarti jika, kita dapat menikmati kebahagiaan, jika kita menikmati setiap waktu yang kita punyai. Tentu saja tidak hanya menikmati tetapi turut bertanggungjawab terhadap waktu yang kita lewati tersebut. Akan ada hal lain yang lebih bermakna jika kita lebih memikirkan bagaimana agar setiap waktu menjadi bermanfaat. Dari pada melulu meletakkan orientasi berpikir pada hal yang itu-itu saja, ataupun menargetkan hanya akan bahagia jika telahSaya di sini hanya member usul dikit…monggo kalau diterima. Pikirkan kembali kalau tidak diterima, dan setidaknya cobalah sekali aja melakukannya jika tidak setuju. Betapa nikmatnya kebahagian jika ukuran kebahagiaan diletakkan pada upaya kita menikmati setiap waktu yang Tuhan beri dalam hidup kita banyak keajaiban sana-sini yang akan kita rasakan hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sepanjang hidup. Bahagia hanya akan terus dinikmati apabila tidak dibatasi dengan tembok keinginan diri sendiri. Tidak dalam ruang waktu tertentu, tidak dibatasi dengan ukuran-ukuran matematika, tidak didasari dengan kegairahan psikologi bahkan lonjakan adrenalin kita yang maha dahsyat sekalipun. Bahagia ya...setiap hari…bahagia ya…setiap waktu..kalau tidak bahagia ya…usahakan tetap bahagia…setidaknya menikmati ritme ini. Karena seingatku, sesuatu yang terlalu berlebihan dan kekurangan tidaklah mengenakkan. Sesuatu yang seimbang dan kadang-kadang melonjak baik sedap maupun pedas lebih nikmat dari pada datar-datar saja, ataupun enak-enak saja, biasanya jika hanya enak atau pedes saja, maka akan terasa eneg sendiri. Akhirnya, kebahagiaan itu sebenarnya terletak di diri kita, bagaimana kita menikmatinya dan bagaimana kita mengolah setiap pikiran dan perasaan kita. Tetaplah bersukacita pada setiap waktu yang Tuhan beri, niscaya bahagia akan selamanya jadi milikmu Read: Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah
. Klik disini untuk baca selengkapnya..