By NiekZ
Di suatu sore, saya menerima sms dari seorang teman dengan isi bahwa dia akan segera hengkang dari tempat pelayanannya. Dia bercerita bahwa seorang teman yang bekerja sama dengannya sebagai rekan sepelayanan memiliki visi yang berbeda dengannya. Jadi, karena sudah tidak sevisi lagi, jalan keluar terbaik adalah salah satu harus mengalah. Dan teman saya ini, memilih untuk megalah dan mencari jalan sendiri.
Saya menanggapi itu sebagai masalah yang cukup serius, karena saya tahu persis bahwa mereka berdua, adalah rekan kerja yang bersama merintis tempat pelayanan itu sampai menjadi besar sekarang ini. Saya tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam, penyebab perbedaan itu terjadi. Ternyata, menurut teman saya, dulunya mereka memang sevisi, hanya saja lambat laun sering terjadi konflik hanya karena perbedaan pendapat.
Miris memang, sesuatu yang telah dibangun bersama akhirnya runtuh karena perbedaan pendapat. Saya jadi teringat pada permasalahan yang pernah saya alami dulu. Saya pernah memiliki teman baik. Seorang teman yang selalu ada ketika suka maupun duka. Suatu saat, perbedaan itu baru terasa ketika saya dengan niat tulus menyarankan dirinya yang sering sakit-sakitan untuk mengurangi lembur kerja sampai tengah malam. Pendapat saya dianggap mengendalikan kebebasannya. Saya hanya geleng-geleng kepala, sesuatu yang saya anggap bermanfaat terhadap dirinya dianggap merugikan kehidupannya.
Saya menjadi berpikir mengapa konflik dapat menjadi besar, padahal kedua orang yang memiliki relasi sebagai teman atau sahabat tersebut sudah mengenal watak masing-masing. Tenyata suatu konflik dapat menjadi besar apabila kita mulai dengan paradigma negatif. Begitu kita mulai dengan paradigma yang negative, maka suatu gejolak ataupun dinamika yang berbeda, kita akan rasakan dalam kerangka berpikir yang negative juga. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang biasanya seperti demikian.
Jika paradigma yang negative yang tersibak pertama kali, maka segala yang keluar dari pikiran adalah rancangan-rancangan yang mengarah pada paradigma negative tadi. Jadi, dapat ditebak, Jika dua orang yang bersahabat yang sebenarnya sudah mengenal watak masing-masing mulai berbeda pendapat, jika yang pertama kali muncul dipikiran paradigma negative maka yakinlah yang timbul adalah kecurigaan, tuduhan-tuduhan, yang terkadang tidak masuk diakal. Selajutnya, mulailah pikiran negative mengikuti, ia akan memikirkan jangan-jangan teman sedang merencanakan niat buruk, jangan-jangan teman sedang menceritakan rahasia kehidupan saya selama ini.
Aura paradigma negative itu terlihat dari bahasa tubuh yang mulai berbeda, cara bicara yang sudah mulai pelit, mimik wajah yang sudah tidak ramah, dan yang paling penting adalah suasana hati yang selalu mengira-ngira. Akibatnya, relasi dengan sesama rusak.
Sebaliknya, jika kita melulu mulai dengan pikiran yang positif, saya menyarankan untuk tidak terlalu nyaman. Sebagai contoh, seorang teman saya yang selalu memulai dengan pikiran positif, mulai percaya sepenuhnya terhadap sahabatnya dengan meminjamkan uang dalam jumlah yang besar. Akibatnya, ketika orang yang dipinjaminya menghilang karena tidak sanggup membayar pinjaman tersebut, ia menjadi stess dan mengutuki kebodohannya mempercayai temannya.
Kita tidak bisa menyalahkan pikirannya yang positif tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bisa berakibat fatal? Penyebabnya adalah cara menikmati zona kenyamann pikiran positif yang berlebihan sampai melupakan satu kata yang penting, tetap waspada. Zona kenyamanan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang tidak peka terhadap perubahan atau perbedaan yang berdampak negative di sekitarnya.
Coba liat sebentar pada lambang lembaga peradilan.
Klik disini untuk baca selengkapnya..