Menarik untuk direnungkan, tentang makna kebahagian bagi diri sendiri. Banyak orang mengatakan bahwa ukuran kebahagiaan adalah ketika ia mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Ada juga yang menyatakan bahwa ukuran kebahagiaannya ketika ia mendapati dirinya telah mendapatkan pekerjaan. Lain lagi bagi sebagian orang yang menyatakan bahwa ia bahagia karena telah menemukan tambatan hati dan segera menikah. Upsss… semua jawaban di atas tidak ada yang salah. Semua berasal dari isi kepala dan isi hati yang berbeda.
Lalu bagaimana sebenarnya ukuran kebahagiaan itu? Apakah ia pantas diukur sesuai dengan tingkat materi uang yang kita punya? Apakah ia pantas diukur sesuai dengan jumlah orang yang memenuhi undangan kita?? Atau saat ketika semua isi sms di HP hanyalah ucapan selamat atas keberhasilan kita meraih jabatan, ato gelar, ato kerja, atau kenaikan gaji (Hmm)??? Ini hanya sekedar contoh soal, masih banyak contoh lain di sekitar kita. Jika semua hal tersebut adalah alasan untuk disebut bahagia, maka tidaklah tidak mungkin kebahagiaan akan berakhir seiring dengan masa pencapaian itu berakhir. Kalau begitu, bagaimana dengan kata bahagia itu sendiri? Menjadi sesaatkah seiring dengan masa waktu pencapaian berakhir. Hmmm…jika demikian untuk apa bahagia kalau tidak bisa dinikmati sepanjang hidup? Untuk apa bahagia kalau hanya menjadi bagian hitungan hari, bulan dan tahun?
Sedikit berteori, bagi Maslow manusia memiliki jenjang kebutuhan. Masing-masing orang memiliki kebutuhan yang dapat saja sama bahkan berbeda dari orang lain, sekalipun mereka memiliki hubungan pertalian sedarah. Kebutuhan yang terpenuhi itulah yang akan membuat seseorang puas, atau dengan kata lain bahagia karena keinginan atau kebutuhannya terpuaskan. Jika tidak terpenuhi atau gagal tercapai, seseorang akan merasa kecewa, sedih bahkan depresi. Selanjutnya kita lihat apabila kebutuhan itu telah tercapai, maka kebutuhan itu pula akan membawa seseorang untuk melangkah demi memenuhi kebutuhan lain, demikian terus menerus sepanjang waktu yang dilalui oleh manusia. Sebagai contoh jika seseorang telah meraih gelar sarjana, maka ia kemudian memikirkan bagaimana agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pencapaian prestasinya. Setelah itu, terang saja, ia kemudian menggagas rencana untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan keuangan yang bagus. Nah setelah keinginannya tercapai, ia kemudian melangkah untuk mendapatkan tambatan hati yang akan menemani dirinya sepanjang hidup. Demikian seterusnya,dan seterusnya, pada dasarnya keinginan manusia bergerak maju.
Bagi maslow kebutuhan manusia
Pertama, menyangkut berbagai hal yang fisik, seperti makan, pakaian, seks, bersentuhan dengan pasangan, rumah, mobil, perhiasan dan lain sebagainya. Yang penting segala sesuatu yang berhubungan dengan kepuasan fisik.
Kedua, segala hal yang berhubungan dengan rasa aman. Disini sangat berbeda dengan kebutuhan fisik. Terlindung dari kejahatan, ketenangan bathin untuk menikmati pekerjaan, terhindar dari segala bentuk tekanan, baik dari atasan, rekan kerja, tetangga, ataupun suami/istri. Kebutuhan ini menyangkut sisi psikologi dari seseorang untuk menikmati sesuatu yang sedang dilakukannya ataupun memiliki sesuatu. Ketiga, kebutuhan untuk diterima dalam suatu lingkungan sosial. Kebutuhan yang seperti ini akan mempengaruhi seseorang untuk dapat diterima ataupun bergabung dengan lingkungan dimana dia akan bekerja, atau berinteraksi. Oleh sebab itu, seindividualnya seseorang, iapun memiliki kebutuhan untuk dapat diterima di suatu lingkungan tertentu.
Keempat, kebutuhan terhadap pengakuan. Seseorang yang sudah mendapatkan sesuatu ataupun melakukan sesuatu, ia memiliki kebutuhan untuk diakui bahkan jauh dilubuk hati ada keinginan untuk memperoleh sebuah pujian. Bukankah pujian akan melahirkan hal positif bagi pengembangan diri seseorang?
Kelima, yang terakhir adalah kebutuhan terhadap aktualisasi diri. Seseorang yang sudah dewasa akan memikirkan bagaimana caranya agar ia dapat mengembangkan sisi lain dalam dirinya. Dulu sewaktu kita masih kecil, seringkali kita berpikir kelak akan menjadi seperti apa. Nah, kebutuhan inilah yang pada akhirnya setelah dewasa akan diwujudkan sebagai suatu ambisi dalam kehidupan.
Tidak lari dari teori di atas, mari kita mulai untuk melihat dari diri sendiri. Apakah orientasi kebutuhan kita sekarang masih diletakkan pada kebutuhan fisik? Misalnya, belum mendapatkan uang yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari, gajinya belum mengalami kenaikan, seks belum terpuaskan dengan benar karena segala hal yang berhubungan dengan legalitas hukum dan agama belum terpenuhi, tunggakan masih banyak, dan masih banyak lagi. Ataukah jika itu semua telah terpenuhi ataupun mulai memuaskan pelan-pelan, kebutuhan kita mulai merambah pada kenyaman dalam bekerja, ataupun dalam membina hubungan dengan kekasih atau rekan kerja. Ataukah malah kita sudah tidak berkutat lagi dalam hal tersebut melainkan sudah mulai mempersiapkan diri untuk mulai memperbaiki kualitas pribadi sehingga apa yang diangankan ataupun dicita-citakan selama ini dapat tercapai?
Nah, mari kita sejenak berdiam diri untuk melihat dengan benar dimanakah kita meletakkan tolak ukur kebahagiaan diri kita? Masihkah kita selalu mengutak-atik yang itu itu saja tanpa mengalami perkembangan? Adakah kita hanya duduk diam menangisi persoalan hidup (yang pada dasarnya selalu ada sepanjang hidup)? Saya sepakat dengan Maslow dalam mengatakan bahwa kebagiaan itu akan terus bergerak maju, sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia. Hanya saja saya lebih memilih untuk tidak hanya membagi kebutuhan dalam berbagai tingkatan dan mengambil tolak ukur terhadap pencapaian itu. Bagi saya kita akan terperangkap dalam menilai sesuatu itu bahagia atau tidak dari sisi pencapaiannya. Akan lebih berarti jika, kita dapat menikmati kebahagiaan, jika kita menikmati setiap waktu yang kita punyai. Tentu saja tidak hanya menikmati tetapi turut bertanggungjawab terhadap waktu yang kita lewati tersebut. Akan ada hal lain yang lebih bermakna jika kita lebih memikirkan bagaimana agar setiap waktu menjadi bermanfaat. Dari pada melulu meletakkan orientasi berpikir pada hal yang itu-itu saja, ataupun menargetkan hanya akan bahagia jika telahSaya di sini hanya member usul dikit…monggo kalau diterima. Pikirkan kembali kalau tidak diterima, dan setidaknya cobalah sekali aja melakukannya jika tidak setuju. Betapa nikmatnya kebahagian jika ukuran kebahagiaan diletakkan pada upaya kita menikmati setiap waktu yang Tuhan beri dalam hidup kita banyak keajaiban sana-sini yang akan kita rasakan hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sepanjang hidup. Bahagia hanya akan terus dinikmati apabila tidak dibatasi dengan tembok keinginan diri sendiri. Tidak dalam ruang waktu tertentu, tidak dibatasi dengan ukuran-ukuran matematika, tidak didasari dengan kegairahan psikologi bahkan lonjakan adrenalin kita yang maha dahsyat sekalipun. Bahagia ya...setiap hari…bahagia ya…setiap waktu..kalau tidak bahagia ya…usahakan tetap bahagia…setidaknya menikmati ritme ini. Karena seingatku, sesuatu yang terlalu berlebihan dan kekurangan tidaklah mengenakkan. Sesuatu yang seimbang dan kadang-kadang melonjak baik sedap maupun pedas lebih nikmat dari pada datar-datar saja, ataupun enak-enak saja, biasanya jika hanya enak atau pedes saja, maka akan terasa eneg sendiri. Akhirnya, kebahagiaan itu sebenarnya terletak di diri kita, bagaimana kita menikmatinya dan bagaimana kita mengolah setiap pikiran dan perasaan kita. Tetaplah bersukacita pada setiap waktu yang Tuhan beri, niscaya bahagia akan selamanya jadi milikmu Read: Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah
.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar