Sabtu, 19 Juli 2008

EGP (Emangnya Gw Pikirin), benarkah?

Pernah merenungkan apa yang terjadi di sekeliling kita? Yang pasti, tidak hanya melihat, tetapi memikirkan apa yang benar terjadi disekitar kehidupan kita. Coba lihat, ada yang sedang smsan, dan ketawa-ketiwi membaca apa yang tertulis di ponselnya. Ada lagi yang sedang duduk menunggu bus yang akan mengantarnya ke tempat kerja. Yang lain sedang duduk di taman, menyilangkan kaki sambil membaca koran dan meneguk soft drink. Bahkan terlihat, di bawah pohon yang rindang, ada dua orang anak
manusia berbeda jenis sedang bercerita dan sesekali berpelukan mesra.

Liat lagi di sisi lain, ada yang memakai pakaian compang-camping sedang mengulurkan kaleng berharap diisi sedikit uang. Sedang yang lain, mendendangkan lagu sambil mengulurkan tangan atau sekedar kantung permen kosong, meminta diisi koin, berharap ada juga yang memberi uang kertas dan tentu sebatang rokok. Jangan lupa, ada juga ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya di traffic light, tidak memperdulikan apakah teriknya sinar matahari bisa membuat anaknya kehausan dan kesakitan, yang penting ada tangan yang terulur dari dalam kaca mobil memberikan uang di telapak tangannya.

Kalau bisa liat lagi yang lain, ada bapak yang turun dari mobil mewahnya sembari tersenyum manis di depan wartawan yang sedang menunggunya keluar dari rumah mewahnya, berharap ada sedikit keterangan keluar dari mulutnya tentang rumor kasus suap rekannya. Bisa ditebak, ada bodyguard yang sedang memamerkan ototnya untuk menjaga tuannya agar tidak didekati kuli tinta dan kuli bibir (istilah saya buat penggosip). Seakan tidak mau kalah, ada sekelompok pria berotot sedang main kartu, sesekali ketawa keras-keras, seakan memberi petunjuk tidak boleh ada orang lain yang “macam-macam” di kampungnya.

Semua itu baru sebagian kecil dari apa yang sedang terjadi di sekeliling kita. Apakah kita pernah memikirkan aktivitas orang lain yang ada di sekeliling kita? Ataukah malah kita menjadi tidak respek dan masa bodoh, dengan asumsi bahwa itu urusannya, bukan urusanku. Atau malah lagu Emang Gw Pikirin teradaptasi dalam pikiran dan hasilnya, kitapun bertindak masa bodoh.

Sulit memang, di zaman ini untuk terlalu perduli dengan sekeliling kita. Sebab, kita bisa dianggap heroic kesiangan. Atau kita akan dianggap reseh banget. Bayangkan saja, di saat ini jika kita memberi uang kepada gepeng dan pengamen, ada saja pihak-pihak yang complain karena meragukan niat baik kita. Ada yang menganggap ada udang dibalik bakwan (sedikit bercanda).

Atau memang benar, keinginan kita telah dicemari dengan kepentingan politis dan popularitas. Membantu dengan seribu keinginan dibelakang suatu tindakan. Tidak ada yang menyangka, seorang tokoh terkenal bisa saja membagi-bagikan sembako disejumlah panti asuhan, tetapi sebelumnya memanggil wartawan untuk meliput pekerjaan sosialnya.

Susah ya, hari gini terlalu perduli susah, tidak perduli juga dianggap sombong. Tetapi, sebagai makhluk sosial, kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan kita. Tidak ada yang bisa hidup sendirian di dunia ini. Jadi orang lain ternyata penting buat kita, dan kitapun menjadi penting bagi orang lain. Sebagai makhluk sosial, interaksi terhadap sesama menjadi suatu kebutuhan yang tidak terelakkan. Dampaknya, setuju tidak setuju orang lain sama pentingnya dengan kehadiran kita.

Kalau sudah begitu, efeknya menjadi positif. Dengan mulai memandang orang lain sama pentingnya dengan kehadiran kita, maka kita akan menjadi lebih empati terhadap orang lain. Tidak mengabaikan embel-embel ‘terpaksa demi kepentingan tertentu’, pergeseran akan terasa jika memulai dengan orietasi bahwa orang lain itu penting. Perhatian, dukungan dan motivasi yang kita berikan kepada orang lain akan mengalir berasal dari sebuah kejujuran hati nurani. Dampaknya, setuju tidak setuju orang lain menjadi bagian hidup yang sama penting buat kita.

Terakhir, jika kita telah menyadari orang lain penting, apakah masih manjur lagi jika kita berkata “Emangnya Gue Pikirin?”……
Klik disini untuk baca selengkapnya..

Rabu, 16 Juli 2008

Maafkan Dia

Berhadapan dengan orang yang pernah menyakiti hati memang membutuhkan kekuatan ekstra. Saya mengatakan ini sebagai keberanian untuk berhadapan. Tidak gampang untuk menemui seseorang yang pernah meninggalkan bekas luka di dalam hati. Saya pernah ditemui oleh seorang wanita yang sekian tahun memendam rasa kepedihan dan kebencian di dalam hatinya terhadap seorang pria yang pernah dicintainya. Sudah sekian tahun pacaran, pria tersebut pada akhirnnya memutuskan hubungan sepihak dengan alasan ketidakmapanan diri. Pernyataan itu seolah menjadi palu yang memukul hatinya, dan menjadi pisau yang membedah jantungnya. Terasa sekian tahun pacaran menjadi sia-sia hanya karena keadaan pria yang memikirkan dirinya belum matang.
Hari-hari yang dilalui wanita itu tidak gampang. Dimulai dengan menyalahkan diri sendiri. Wanita itu mulai berpikir bahwa selama ini, dirinya belum memberi yang terbaik bagi teman prianya. Selanjutnya, bisa diduga bahwa keadaan menjadi tambah parah saat wanita tersebut tidak mampu mencurahkan isi hatinya kepada oranglain. Ia menjadi terpukul dan sering menangis, bahkan pernah berkeinginan untuk bunuh diri.
Sekian tahun kemudian, wanita itu mendengar kabar bahwa pria yang pernah dicintainya akan menikah dengan wanita yang bukan lain adalah sahabat teman prianya itu. Tidak ayal lagi, kenyataan itupun seolah membuka kisah lama yang menyakitkan. Berbulan-bulan kenyataan yang pahit itu harus diterimanya sebagai suatu garis kehidupan. Tanpa terdua, pria itu kemudian datang untuk meminta maaf atas kenyataan pahit di masa lalu. Bak oase dipadang gurun, wanita itu memaafkan teman prianya. Episode melankolik itu berakhir dengan kata MAAF
Dari kisah pedih di atas, yuk kita melihat pada diri kita. Tidak hanya melulu kisah cinta. Saat hati kita pernah dilukai oleh sahabat, saudara, bahkan orangtua kita, pernahkah kita menghadapinya dengan tenang? Ataukah masih membawa kepedihan sampai tidak mampu untuk memaafkan?
Coba pikirkan sejenak, siapapun pernah berbuat kesalahan. Tidak ada yang sempurna dalam bertindak. Jangan jangan malah orang yang menjadi duri dalam daging buat kita telah melupakan peristiwa yang menyakitkan itu, atau jangan jangan iapun tengah enjoy dalam kehidupannya. Masakan kita membiarkan kita terpenjara dalam pikiran bodoh sampai terus-menerus terluka bahkan menjadi seperti kanker yang menggerogoti tubuh?
Sebenarnya, ketika kita mengampuninya, kegiatan itu menjadi seperti antibiotic yang mencari bagian-bagian tubuh yang terluka dan menyembuhkannya. Tidak gampang dan mungkin cukup lama. Tetapi ingat bahwa lebih baik memberi kesempatan terhadap diri sendiri untuk belajar mengampuni daripada berkata, tidak mungkin mengampuni. Dia pernah berkata : “Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”(Mat 6:15). Jadi, ampunilah dia, dan tersenyumlah buat dia.

Klik disini untuk baca selengkapnya..

Selasa, 15 Juli 2008

PURPOSE DRIVEN LIFE


By Brother (http://sonnyelizaluchu.blogspot.com)

Apakah kehidupan jika tidak memiliki tujuan?
Banyak orang mengabaikan tujuan hidup. Padahal, tujuan adalah alat penggerak kehidupan itu sendiri. Dimana ada kehidupan di sanalah ada tujuan, demikian sebaliknya. Maka ketika orang tidak memiliki ataupun mengenali tujuan hidupnya, sebetulnya orang itu tidak memiliki hidup.

Hidup adalah keputusan. Setiap keputusan yang diambil tentunya mengarah pada tujuan. Itu sebabnya kita tidak boleh salah menetapkan tujuan di dalam hidup ini. Apakah itu di dalam pendidikan, pekerjaan, keluarga dan terlebih di dalam pelayanan. Tujuan akan membuat kita terfokus. Coba lihat orang gila. Yang seperti seterika 'bolak balik' tidak jelas kemana arahnya. Tujuan akan mengarahkan kemana setiap langkah kaki kita menempuh jalan. Ingat, setiap langkah kaki itu memberi jejak yang kelak ketika menoleh ke belakang, kita jadi tahu, hidup ini sudah benar-benar bermakna atau belum. Jejak akan memberi kita refleksi untuk menilai apakah sudha ada tujuan di dalam hidup ini dan tujuan itu mengarah kemana. Hidup penuh makna adalah perjalanan menuju tujuan-tujuan, yang hanya kita sendiri, menetapkannya. Tanpa tujuan hidup, maka hidup itu tidak punya makna sama sekali.

Tujuan juga tidak hanya membuat hidup kita terfokus dan terarah. Tujuan dapat membuat hidup kita bergairah. Setiap orang yang memiliki tujuan, maka hidupnya akan bergerak menuju sasaran-sasaran yang akan dicapainya. Hidup, diwarnai oleh tujuan ! Oleh sebab itu, jangan salah menetapkan sasaran. Tujuan yang salah akan menghasilkan hidup yang salah. Juga sebaliknya. Jadi sangat gampang sebetulnya menilai hidup seseorang. Apa yang ditampilkannya melalui karakter, gaya hidup, perkataan dan perilakunya, demikianlah ia adanya. Hidup di warnai oleh tujuan. Apa yang kita tampilkan di dalam hidup ini, berasal dari satu titik, tujuan yang akan di capai. Pencuri akan mewarnai hidupnya dengan segala usaha mengambil barang orang lain, karena memiliki tujuan untuk mencuri. Seorang pelajar tentu akan mengisi hari-harinya dengan belajar, membaca dan berlatih agar tujuan pendidikannya tercapai. Kita, yang melayani Tuhan, akan mewarnai hidup ini dengan segala hal menyangkut hubungan dengan Tuhan memalui doa, firman, pujian penyembahan, karena kita memang mau melayani. Tidak ada warna kehidupan yang bertolak belakang dengan tujuan hidup itu sendiri. Hidup pernuh makna adalah hidup yang diwarnai oleh tujuan.

Tujuan dapatlah menjadi sebuah mimpi jika tidak ada usaha untuk mencapainya. Tujuan hanya akan dapat dicapai jika kita mau pergi ke sana dan mendapatkannya. Perlu usaha untuk mencapai setiap tujuan yang telah kita tetapkan di dalam hidup ini. Bahkan usaha yang keras, semangat yang tidak pantang menyerah, harapan yang tidak pernah pupus dan keinginan untuk memperbaiki kesalahan. Itu semua berhubungan dengan 'membayar harga'. Sering terjadi orang mau pergi ke sebuah tempat dengan cara yang instant. Kita memang patut belajar dari keberhasilan orang lain mencapai tujuan hidupnya. Tetapi yang jauh lebih penting, yang membuat hidup lebih bermakna, adalah bagaimana kita belajar dari kehidupan setiap orang hingga ia mencapai tujuannya. Tujuan tidak dapat dicapai hanya dengan diam di tempat. Kita perlu pergi ke sana dan melakukan sesuatu. Thomas A. Edison ratusan kali gagal di dalam setiap percobaannya dan dia sama sekali tidak memiliki etos gagal. Dia mencoba dan mencoba lagi sampai bisa. Dia mau belajar dari kegagalan. Itulah kunci sukses hidupnya. Sejarah membuktikan bahwa Edison menjadi salah seorang ilmuwan yang paling banyak mencatatkan hak paten atas penemuan penemuan briliannya. To do something harus menjadi bagian kita saat bergerak mencapai tujuan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan anda? Di titik kehidupan di mana saat ini anda berdiri, coba lihat jejak kaki yang ada di belakangmu. Apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum. Bila tidak, maka belum terlambat memulainya kembali.

Keep on fire !!!

Semarang, Juli 2008 Klik disini untuk baca selengkapnya..