Berhadapan dengan orang yang pernah menyakiti hati memang membutuhkan kekuatan ekstra. Saya mengatakan ini sebagai keberanian untuk berhadapan. Tidak gampang untuk menemui seseorang yang pernah meninggalkan bekas luka di dalam hati. Saya pernah ditemui oleh seorang wanita yang sekian tahun memendam rasa kepedihan dan kebencian di dalam hatinya terhadap seorang pria yang pernah dicintainya. Sudah sekian tahun pacaran, pria tersebut pada akhirnnya memutuskan hubungan sepihak dengan alasan ketidakmapanan diri. Pernyataan itu seolah menjadi palu yang memukul hatinya, dan menjadi pisau yang membedah jantungnya. Terasa sekian tahun pacaran menjadi sia-sia hanya karena keadaan pria yang memikirkan dirinya belum matang.
Hari-hari yang dilalui wanita itu tidak gampang. Dimulai dengan menyalahkan diri sendiri. Wanita itu mulai berpikir bahwa selama ini, dirinya belum memberi yang terbaik bagi teman prianya. Selanjutnya, bisa diduga bahwa keadaan menjadi tambah parah saat wanita tersebut tidak mampu mencurahkan isi hatinya kepada oranglain. Ia menjadi terpukul dan sering menangis, bahkan pernah berkeinginan untuk bunuh diri.
Sekian tahun kemudian, wanita itu mendengar kabar bahwa pria yang pernah dicintainya akan menikah dengan wanita yang bukan lain adalah sahabat teman prianya itu. Tidak ayal lagi, kenyataan itupun seolah membuka kisah lama yang menyakitkan. Berbulan-bulan kenyataan yang pahit itu harus diterimanya sebagai suatu garis kehidupan. Tanpa terdua, pria itu kemudian datang untuk meminta maaf atas kenyataan pahit di masa lalu. Bak oase dipadang gurun, wanita itu memaafkan teman prianya. Episode melankolik itu berakhir dengan kata MAAF
Dari kisah pedih di atas, yuk kita melihat pada diri kita. Tidak hanya melulu kisah cinta. Saat hati kita pernah dilukai oleh sahabat, saudara, bahkan orangtua kita, pernahkah kita menghadapinya dengan tenang? Ataukah masih membawa kepedihan sampai tidak mampu untuk memaafkan?
Coba pikirkan sejenak, siapapun pernah berbuat kesalahan. Tidak ada yang sempurna dalam bertindak. Jangan jangan malah orang yang menjadi duri dalam daging buat kita telah melupakan peristiwa yang menyakitkan itu, atau jangan jangan iapun tengah enjoy dalam kehidupannya. Masakan kita membiarkan kita terpenjara dalam pikiran bodoh sampai terus-menerus terluka bahkan menjadi seperti kanker yang menggerogoti tubuh?
Sebenarnya, ketika kita mengampuninya, kegiatan itu menjadi seperti antibiotic yang mencari bagian-bagian tubuh yang terluka dan menyembuhkannya. Tidak gampang dan mungkin cukup lama. Tetapi ingat bahwa lebih baik memberi kesempatan terhadap diri sendiri untuk belajar mengampuni daripada berkata, tidak mungkin mengampuni. Dia pernah berkata : “Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”(Mat 6:15). Jadi, ampunilah dia, dan tersenyumlah buat dia.
Rabu, 16 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
wah blog-nya bagus. akan lebih bagus lagi kalo makin banyak tulisannya :)
daripada kejengkelan ditumpahkan sama yang lain, lebih baik buat tulisan. Sip lah!
Lewis Smedes pernah berkata “orang pertama dan seringkali satu2nya orang yang disembuhkan oleh pengampunan adalah orang yang mengampuni itu...ketika kita memaafkan dengan tulus, kita membebaskan sang tawanan dan kemudian menemukan bahwa tawanan yang dibebaskan itu adalah kita.”
Posting Komentar